WORKSHOP YANG HAMPIR TAK JADI

Jariku menari, dengan percaya diri aku mengusulkan sebuah program di Pasar Intaran. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini peranku bukan sebagai pengatur acara, bukan juga sebagai penjaga kebersihan, tukang angkut alat, atau pedagang dadakan. Aku datang sebagai kolaborator. Sebuah peran yang sejujurnya terasa likad.

Biasanya aku sibuk menyisir komunitas, mencari siapa yang bisa kuajak mengisi materi. Tapi hari itu, aku sebagai bagian dari komunitas mengajukan usulan program kegiatan ke Pasar Intaran. Anehnya, dari posisi ini, banyak hal terlihat lebih sensitif. Lebih... terasa.

Aku sedang mencoba mengusulkan program terkait perayaan hari bumi (22 april 2025), Paper Rebirth sebuah workshop seni mendaur ulang sampah kertas menjadi barang dekoratif. Komunitasku Green Studi Adventure—ya, nama itu agak absurd memang. “Studi” dalam Bahasa Inggris salah kaprah, tapi temanku bilang, “Biar orang lain punya ruang buat mengkritik kita.” Tambahnya, “Manusia tempatnya salah.” Aku jadi ingat cerita Ajahn Brahm soal dua bata jelek. Dan mungkin, aku sedang memandangi bata-bata jelek itu sekarang.

Rencanaku cukup sederhana: obrolan pasar dan workshop. Tapi jawaban Cotek—penanggung jawab pasar—seperti petir jam lima sore. “Untuk minggu ini hanya workshop. Obrolan bisa digeser minggu depan.”
Bhommm.
Padahal aku sudah siapkan narasumber, topik, bahkan semangat.

“Astungkara bisa ngobrol dulu sebelum workshop, Bli,” kataku, mencoba membujuk. “Karena topiknya nyambung. Dan kalau dipindah minggu depan, peserta beda, energi beda.”
Pesanku tak dibaca. Dan dalam bahasa WhatsApp, tak dibaca sering berarti “tidak.” Apa yang harus aku jelaskan ke Duta narasumber obrolan yang sudah kuajak sejak awal. Jujur, aku malu padanya.

Kamis, 17 April, aku menyebar surat undangan ke sekolah dan kampus. Targetku: 15 orang peserta. Dalam undangan itu, sudah kusisipkan flyer hasil begadang malam sebelumnya. Aku laporan ke Oka, teman satu visi, juga ke Cotek. Lalu...
Duarrr.
“Pasar Intaran ada template sendiri. Kirim foto close-up dan nama lengkap pembicara ya.”
Aku melongo. Flyer sudah tersebar. Masa iya mesti tarik ulang semua? Kok rasanya... kaku? Hal ini perlu aku konfirmasi saat bertemu nanti. 

Sabtu, 19 April. Hari terakhir persiapan. Aku mulai cemas. Resmi, adik angkatan yang kuajak jadi bagian workshop ini, tidak membalas pesanku. Waktu semakin tipis. Aku beralih ke Dombling temanku yang kerja di Rumah Intaran. Kami belajar membuat bubur kertas dari nol. Sambil menggiling kertas koran, Dombling bilang, “Santai, nanti juga jalan.”
Tapi aku nggak bisa santai. Oka sampai nelepon, suaranya panik. Sore makin senyap, matahari makin rendah. Aku kumpulkan alat, bahan, dan tenaga. Sampai larut malam.

Lalu, tubuhku menyerah.

Aku tidak bangun tepat waktu. Tidak sempat simulasi hingga kegiatan berjalan. Rencana hanya tinggal rencana.

Kini aku menulis ini. Sambil surel dan flyer yang sudah menyebar. Workshop tetap akan berlangsung. Tapi cerita tentang bagaimana semua ini nyaris tidak terjadi, akan terus tinggal di benakku. Dan mungkin di tulisan berikutnya, aku akan cerita bagaimana semuanya meski dengan segala keterbatasan akhirnya tetap berjalan.



Comments

Popular posts from this blog

Manajemen Perjalanan, Bekal Sebelum Mendaki

Singaraja Panas, Ada Kesejukan Di Pasar Intaran

Safety Can Be Fun, Diskusi Tualang Yang Seru